“Kukkuruyuukkk… Kukkkuurrruuuyyuukkk…” Suara ayam jantan
yang sedang berkokok dengan gagahnya membangunkanku di tengah kegelapan
pagi. Suara ayam jantan yang berkokok di pagi hari bergantian hingga tak
terhitung jumlahnya. Suasana pagi yang dingin dan berkabut serta suara
kokok ayam yang bersahutan memang sudah menjadi ciri khas tempat
tinggalku. Desa BANGUN REJO di kabupaten Blitar Jawa Timur. Ya, itulah
rumahku selama ini. Sebuah desa kecil yang tentram terletak kurang lebih
20 KM dari tempat wisata gunung kelud. Tentunya disini aku tidak
sendiri, aku tinggal bersama bapak, ibu, serta kakek dan nenek.
“Sugeengg. Bangun nak. Sholat subuh dulu.” Suara nenek membangunkanku yang masih terbaring nyaman berselimut sarung.
“Iya mbah” kataku menurut.
Sebenarnya aku masih sangat malas untuk melangkahkan kaki ke kamar
mandi. Salah satunya karena airnya yang sangat dingin. Tapi ya wajarlah,
namanya juga pegunungan hehehe. Namun karena yang memintaku adalah
nenekku sendiri, jadi tak mungkinlah aku menolak permintaannya.
“Allaaahuakbar..” kalimat takbirpun terdengar dari mushola kecil
dekat rumah. Hari ini terlihat 10 orang yang sedang khusuk menghadap
sang kuasa, dan tak menghiraukan dinginnya kabut pagi. Jumlah segitu
sudah alhamdulillah, ya maklumlah. Namanya juga di desa, jarak rumah
satu dengan lainnnya sangat renggang. Ditambah pula mayoritas bekerja
sebagai pekebun yang setiap hari direpotkan dengan mengirim
sayur-sayuran ke pasar di kota.
Meskipun begitu, aku bangga dengan desa kecil ini. Yang selalu tenteram, damai dan tak mengenal kata kekerasan.
Keakraban pun seketika terjalin ketika sholat subuh telah usai. Para
bapak yang berkumpul dan duduk-duduk santai di pinggir mushola, gelak
tawa anak-anak yang berlarian berangkat sekolah, dan juga senyum merekah
oleh ibu-ibu yang berkumpul pada penjaja sayur keliling, ditambah pula
keindahan matahari yang mulai mengintip dibalik gagahnya pegunungan
pulau jawa. Membuatku tersenyum bahagia merasakan surga dunia.
Bahkan karena terlalu asyiknya aku menikmati keindahan dunia, tak
terasa matahari sudah semakin meninggi. Bapak-bapak sudah mulai pulang
ke rumah masing-masing satu per satu. Jalanan yang tadinya ramai oleh
suara gelak tawa dan bel sepeda kayuh anak sekolah, kini sudah mulai
lengang. Senyum-senyum merekah dari ibu-ibu pun sudah lenyap, hanya
tinggal penjaja sayur keliling dan gerobak yang mulai kosonglah yang
kini terlihat olehku. Mungkin memang cukup untuk hari ini, pikirku.
Dengan langkah tenang aku mulai melangkah pulang.
“Sreekk, Sreekk, Sreekkk,” suara butiran debu yang berulangkali
beradu dengan sapu lidi yang digunakan oleh nenekku untuk membersihkan
halaman depan rumah.
“Mbah, saya bantu nyapu ya?” Aku menawarkan bantuan.
“Halah, ndak perlu. Beli minyak goreng wae kono.”
“Ya Mbah” jawabku dengan semangat.
Dengan secepat kilat ku berlari menuju kamar dan mengganti baju koko
yang telah melekat dari tadi. Uang pun sudah di tangan, aku berangkat
menggunakan sepeda kumbang kesayangan Kakekku. Aku lebih memilih sepeda
ini karena aku ingin lebih menikmati udara segar di pedesaan. Dan tak
ingin merusaknya dengan gak buang kendaraan bermotor.
“Aku berangkat!! Assalamualaikum” teriakku ketika melewati gerbang rumah
dengan terus mengayuh sepeda. Aku memang sangat semangat jika disuruh
untuk membelikan sesuatu. Karena dengan begitu, aku dapat sekalian
berkeliling menikmati asrinya pedesaan. Pegunungan yang indah menghampar
di depanku yang juga merupakan jalan satu-satunya yang akan kulewati
nanti untuk menuju kota. Liukan bukit dan pegunungan yang menghampar
luas, jalan pegunungan yang berkelok-kelok dan juga sinar matahari pagi
yang kekuningan membuatku semakin takjub dengan alam ini.
Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya sebuah gapura besar dan ucapan
selamat datang menyambutku, yang menandakan aku sudah sampai di
perbatasan antara kota dan kabupaten. Karena perjalanan menurun, tenaga
pun tak begitu terkuras banyak. Setelah sampai di pasar, kuparkir sang
kumbang tercinta di pojok tempat parkir. Aku mulai memasuki kawasan
pasar yang ramai dan kurang bersahabat. Di tengah ramainya pasar,
tubuhku sempat bertabrakan dengan anak lain seusiaku. Hingga kami berdua
hampir jatuh.
“Aduh!!” suara gadis itu ketika tubuh kami bertabrakan.
“Kamu nggak papa kan?” tanyaku khawatir.
“Oh, aku nggak papa.” Jawabnya sambil tersenyum. Namun bukan senyuman
biasa yang terlukis di mulutnya. Namun lebih kepada sebuah senyum yang
penuh makna, yang menyimpan beribu makna. Dan aku pun tak tahu apa
artinya. Karena baru kali ini aku melihat senyum penuh makna oleh
seorang perempuan. Tatapannya padaku juga tak kalah serius. Parasnya
yang cantik membuatku seakan terhipnotis oleh wajahnya yang rupawan.
“Mas, Mas, Heelllooo… Mas? Kok bengong?” Katanya membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya?” jawabku sambil mengusap-ngusap mataku beberapa saat lalu tak berkedip sama sekali.
“Maaf mas, saya tadi gak sengaja.”
“Oh, iya-iya nggak papa kok.”
“Owh, kalau begitu saya pergi dulu ya” ia pergi dengan meninggalkan senyum manisnya.
“Iya,” jawabku sambil terus memandanginya.
Kulihat dari kejauhan, ia berjalan dengan gemulai dan sesekali
menoleh ke belakang dan tersenyum manis padaku. Aku pun sesekali
membalas senyumnya. Terbuyar dari lamunanku, akupun ingat tujuan awalku
pergi ke pasar ini. Namun, mataku dibuat terbelalak selebar-lebarnya
ketika sadar bahwa dompet dan handphone yang sedari tadi duduk manis di
saku celana kini hilang begitu saja. Seakan tak percaya, tangan ini tak
henti-hentinya keluar masuk saku untuk mencari keberadaan dompet dan
Hpku. Berbagai pertanyaan pun seketika muncul di otakku.
“Kapan?”
“Dimana jatuhnya?”
“Siapa yang mengambil? Dan bagaimana bisa?” tanyaku berulang-ulang dalam hati.
Seketika, rasanya jantung ini kembali dibuat tak berdetak selama
beberapa detik ketika aku teringat salah satu adegan sinetron.
(Hehehehe, jadi ketahuan deh kalau sering nonton sinetron). Adegan itu
adalah adegan ketika seorang laki-laki bertabrakan dengan pencopet
cantik dan sang laki-laki tersebut baru menyadari ketika dirinya sudah
sampai di rumah. Dan mungkin itu yang terjadi padaku saat ini.
Sesegera mungkin kuputar leher ini ke arah gadis tadi. Mataku sangat
sibuk mencari-cari. Bola mata tak henti-hentinya berputar dari kanan ke
kiri, dari atas ke bawah untuk mencari ke segala sudut.
“Nah!” ketemu juga akhirnya” kataku lirih.
“Kena kau sekarang” lanjutku dalam hati sambil terus berlari kecil di tengah kerumunan.
Aku sengaja tidak berteriak, karena ku tahu teriakanku hanya akan
membuatnya berlari semakin jauh dariku. Aku tetap menjaga jarak darinya,
namun lama kelamaan ia mulai curiga karena aku terus mengikutinya.
Namun, disitu kutahu bahwa dompetku ada padanya. Tepat berada di saku
belakangnya. Aku pun berusaha sedikit demi sedikit mendekatinya. Jantung
yang berdetak kencang, menandakan bahwa rasa takutku semakin besar.
Namun, aku merasa jika rasa penasaranku lebih besar dari apapun.
Kuberanikan diri untuk menggait tangannya dan mengajaknya sedikit
bercakap-cakap. Namun sebelum ku meraih tangannya, Ia langsung
membalikkan badannya dan menghentikan langkahnya. Dia menatapku dengan
penuh curiga.
“Ngapain to situ? Kok mulai tadi ngikutin saya terus?” tanyanya penuh curiga.
Seketika aku terperanjat kaget, langkah yang tadinya terus maju dengan
gagahnya kini telah mundur beberapa langkah tanpa diperintah. Tangan
yang tadinya sudah mulai mengarah ke depan untuk mengait tangannya, kini
telah kembali pada posisi awalnya. Serta wajahku yang sedari tadi
memunculkan raut rasa ingin tahu, kini justru terperanga antara takut
dan bingung. Di tengah kegugupan yang melanda, aku pun menjawab
sekenanya.
“Ehmm, sory. Aku ngikutin kamu ka.. karena..” kataku terbata-bata.
“Karena opo?” tanyanya dengan lembut mencoba menutupi rasa takutnya.
Dari sorot matanya, aku dapat melihat bahwa ia sedang ketakutan. Mungkin
ia takut kalau aku tahu bahwa dia yang mencuri dompetku.
“Karena.. Karena.. aku pengen jadi temenmu.” Jawabku.
Jawaban itu bukan tanpa alasan, tapi aku ingin mendekatinya dan
mengetahui latar belakangnya. Aku sangat penasaran, lantaran kenapa
cewek seperti dia bisa menjadi seorang pencopet. Wajahnya yang
menunjukkan bahwa dia adalah orang baik sangat bertolak belakang dengan
pekerjaan ini. Serta penampilannya yang seperti anak baik-baik,
membuatku semakin penasaran dengan pencopet yang satu ini.
“Beneran? Masnya mau jadi temenku?” tanyanya tak percaya.
“Mengapa tidak? Kamu cantik, dan kelihatannya juga baik” jawabku sambil
sedikit menebar senyum. Mencoba untuk lebih akrab lagi dengannya.
“Hmmm, ya udah. Tapi jangan menyesal ya?” candanya.
Aku hanya bisa tersenyum sambil mengulurkan tanganku.
“Namaku Sugeng, namamu?”
“Namaku Sinta” jawabnya sambil menjabat tanganku. Kini ketegangannya
terlihat mulai berkurang. Mungkin kini ia mengira bahwa aku belum tahu
kalau dompetku telah raib.
“Sinta? Itu nama tokoh pewayangan idola saya lo. Sinta adalah sosok
perempuan cantik yang menjadi perebutan pada zaman Ramayana” jelasku
singkat.
“Ah masak? Jadi malu aku” jawabnya sambil tersipu malu. Kami pun tertawa
lepas bersama, bagaikan tak lagi peduli dengan aktifitas kesibukan
pasar yang penuh sesak. Kini, rasanya hilang sudah kesan pasar yang
kotor, bau dan menjijikkan. Kini, tempat ini bagaikan taman bermain
pribadi. Hanya aku dan dia.
“Makan siang dulu yuk, tenang.. Aku yang bayarin deh” ajakku ketika
melihat mentari mulai meninggi dan saatnya makan siang telah tiba. Dia
tertegun mendengar perkataanku. Seakan tak percaya, wajahnya seketika
berubah ketakutan. Rasa takut yang kembali muncul, karena perkataanku
yang akan mentraktir dia. Mungkin ia takut ketika aku mencari dompet dan
sadar kalau dompetku hilang.
“Tenang, emang gak banyak kok uangku. Tapi cukuplah untuk makan kita
berdua” kataku lagi sambil tanganku pergi ke belakang tubuhku dengan
perlahan menuju saku belakang celana. Namun belum sampai tanganku ke
saku tempat dompet biasa berada, namun tangannya yang lembut sudah
menggapai tanganku.
“Jangan!! Hmmm, bagaimana kalau aku saja yang traktir? Bolehkan?” katanya.
Aku hanya membalas senyum.
“Hebat juga pencopet yang satu ini” gumamku dalam hati.
Warteg pinggir jalan yang tak jauh dari pasar pun menjadi pilihan kami.
“Aku yang pesenin ya?” kataku menawarkan.
“Ah, gak usah. Aku aja.” Jawabnya.
“Kamukan udah bayarin, jadi biar aku yang pesen sekarang. Oke?”
“Oke dah” jawabnya dengan tersenyum. Namun tetap saja senyumannya yang
manis tidak bisa menutupi raut wajahnya yang menunjukkan raut wajah
khawatir.
“Kamu mau makan apa Sin?” tanyaku.
“Mmmm.. Aku makan nasi goreng aja deh”
“Oke, siap kapten” jawabku sambil menyodorkan senyum yang juga dibalas senyuman olehnya.
Lalu aku pergi ke belakang tempat dapur berada. Karena warteg
tersebut adalah langgananku. Jadi pemiliknya pun sudah akrab denganku.
“Bulek, nasi goreng dua yang spesial ya?” kataku mengagetkan Bulek Susi. (Bulek adalah panggilan bibi pada bahasa Indonesia)
“Loh, Sugeng? Iya le. Pakek telur apa ndak?” tanyanya sedikit kaget.
“Iya bulek, pakek telor ya”
“Kok tumben pesen dua? Sama siapa? Biasanya sendiri?”
“Iya bulek, sama temenku tuh” sambil menunjuk tempat Sinta duduk.
“Ehemm… Keponakan bulek udah gede nih” kata bulek sambil senyum-senyum sendiri.
“Ah, bulek bisa aja. Oh, iya minumnya jus apel 2 ya”
“Siap bos. Udah, temenin sono. Kasian tuh sendirian” goda bulek.
“Ah, bulek. Aku ke depan dulu ya.” Kataku sambil malu-malu.
Aku berjalan kembali ke arah Sinta. Kulihat wajahnya masih cemas. Meskipun tidak secemas tadi.
“Maaf sin, lama ya?”
“Ah, nggak geng. Nggak papa. Kamu kelihatannya akrab banget sama Ibu itu.”
“Ehh, gak juga sih. Cuman dari dulu keluargaku emang suka makan disini. Dan aku udah nganggep dia sebagai bulekku sendiri.”
“Owh gitu, hebat juga ya kamu. Bisa akrab dengan banyak orang. Termasuk
aku, orang yang baru kamu kenal. Udah bisa akrab kayak gini.”
“Ah, bisa aja. Bisa kenal kamu itu anugrah tahu.” Godaku.
“Wah, parah.. udah mulai berani nggombal nih” katanya sambil tersipu
malu. Kami berdua pun larut dalam canda tawa. Kami juga asyik ngobrol
mulai dari hobby sampai latar belakang keluarga. Kamu berdua juga saling
berbagi cerita. Dan akhirnya kutahu, bahwa dia hanyalah seorang putri
dari keluarga kecil yang ingin membantu perekonomian keluarganya.
“Ini dia, makanannya datang!!” seru bulek mengagetkan kami berdua.
“Wah!! Kelihatannya enak nih bulek” kataku sambil membantu menurunkan minuman.
“Iya enak dong!! Masakan siapa dulu? Apalagi kalau, makannya berduaan” goda bulek.
“Ah, bulek. Kita kan cuman temen” kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya kok. Kami cuman temen kok bulek.” Sinta menambahkan.
“Tuh kan, baru temen aja udah kompak gitu. Apalagi kalau jadi pasangan.
Ya udah, bulek mau ke belakang. Takut ganggu yang mau berduaan.” Kata
bulek pamit.
“Maaf itu, bulek emang dari dulu kayak gitu”
“Iya geng, gak papa kok. Justru seru kali, punya kenalan kayak kalian. Gokil”
“Ya udah, ayo makan”
Aku dan Sinta pun menikmati makanan buatan bulek sambil melanjutkan
pembicaraan dan sesekali diiringi gelak tawa. Nasi goreng spesial dengan
porsi jumbo pun lenyap seketika, gelas yang tadinya terisi penuh pun
kini tinggal menampung seperempatnya.
“Wah, gimana sin? Kenyang? Kataku dengan nada meledek.
“Wehwehweh.. ngledek lu geng? Cuman perut karet kayak kamu kalau porsi segitu gak kenyang” jawabnya sedikit ketus.
“Hahahaha, enak aja.. Ya udah duduk-duduk dulu aja deh. Gak baik kalau perut penuh dipake jalan”
“Iya deh, aku nurut aja sama kamu” balasnya sambil tersenyum.
Di tengah percakapan, aku beranikan diri untuk memegang tangannya.
“Sin, aku boleh ngomong sesuatu gak?”
“Emm.. Emm.. Emang mau ngomong apa?” jawabnya sambil menunduk, kulihat wajah imutnya yang sedang tersipu malu.
“Terima kasih Sin, kamu udah mau jadi temenku. Walaupun kita barusan
kenal, kamu udah nraktir aku. Ya, walaupun mungkin sebagian duitku.”
Sinta yang tadinya hanya menunduk malu, kini memandangku tak percaya. Ia
tertegun oleh perkataanku tadi. Ia tak menyangka jika aku sudah
mengetahui semuanya dari awal.
“Aku tahu kok, kamu yang membawa uangku saat ini” kataku menambahkan.
“Boleh kuminta uangku kembali?” tanyaku dengan tak menghilangkan
senyuman pada bibir ini. Aku berusaha membuatnya tetap nyaman dan tidak
merasa tertekan. Namun ia tetap terdiam seribu bahasa.
“Sante aja Sin. Aku gak ada niatan untuk menghukum kamu kok. Jika memang
aku ada niatan untuk menghukummu, aku sudah meneriakimu copet semenjak
kita bertabrakan tadi” ujarku dengan nada santai.
Sinta pun tertunduk kembali, kali ini air mata mengalir mengarungi
pipinya. Tangannya mencoba melepaskan genggamanku. Aku hanya
membiarkannya.
“Kenapa? Kenapa kamu membiarkan tanganku lepas dari genggamanmu? Kenapa
geng? Apa kamu rela? Apa kamu rela jika aku lari dengan membawa uang dan
handphonemu? Jawab geng? Kenapa?” tanyanya dengan tersedu-sedu dan
tangannya yang kini menggenggam dompet dan handphoneku.
Suaranya yang lirih dan tangisnya yang semakin menjadi-jadi menandakan
bahwa ia telah pasrah. Suasana sempat hening, keadaan warteg yang sedang
lengang menambah hening suasana. Hanya suara tangis Sinta yang
samar-samar ditangkap oleh telingaku. Segera kulepas jaketku dan
memakaikannya pada Sinta. Aku tak mau jika kesedihannya menarik
perhatian orang yang lalu lalang dibalik jendela dekat meja kami. Hingga
akhirnya aku membuka suara.
“Aku rela kok Sin. Aku rela jika kamu lari menjauhiku. Aku rela jika
kehilangan uang dan handphone itu. Bahkan jika memang itu yang kau
inginkan, silahkan. Aku gak akan mengejar kamu.” Kataku dengan nada
sedih.
“Tapi apa kamu rela? Apa kamu rela merusak pertemanan kita yang baru saja terjalin? Semua terserah padamu” lanjutku.
Tangis Sinta kini sudah tak terbendung lagi, air mata tak ada hentinya
membanjiri setiap lekuk wajah manisnya. Handphone dan dompet yang sedari
tadi masih dalam genggamannya, kini ia turunkan secara perlahan dan
meletakkan di atas meja. Ia yang sedari tadi duduk tepat di hadapanku,
kini beranjak menuju sampingku. Melihat itu, aku pun ikut berdiri.
Kuletakkan kedua tanganku tepat di samping pipinya. Kuusap air mata yang
mengalir membasahi pipi Sinta. Namun tanpa kuduga, Sinta langsung
memeluk tubuhku dengan erat.
“Maaf geng, kamu sudah baik banget sama aku. Padahal aku adalah orang
yang mencopetmu. Tapi jujur kukatakan, itu semua bukan keinginanku.
Semuanya karena himpitan ekonomi. Aku tidak ingin keluargaku kelaparan.
Namun, aku juga tidak ingin kehilangan teman sebaik kamu. Terima kasih,
karena kamu sudah mau menjadi sahabatku. Kini aku sadar, bahwa yang
kulakukan selama ini adalah salah. Dan, dan itu semua berkat kamu. Kamu
memang sahabatku yang terbaik”
Kata-kata Sinta membuatku terkesan. Membuat mataku berkaca-kaca.
“Sudah-sudah, yang kutahu dari sosok Sinta itu cantik, lemah lembut,
tapi tegar, bukannya cengeng kayak kamu” godaku coba menghiburnya.
“Iiihh, apaan sih. Kamu tuh, masak laki kok nangis” balasnya.
“Eeehh, enak aja. Mana? Aku gak nangis kok” jawabku mengelak.
“Halaahh, gak usah boong deeh!.. Itu matanya berkaca-kaca” candanya sambil mencubitku.
“Aduh, apaan sih! Malu tuh dilihatin bulek” kataku mengagetkan bulek yang sedari tadi mengintipku dari balik pintu dapur.
“Buleekk!! Makannya udah nih”
Tak lama berselang, bulek pun menghampiri kami berdua.
“Wahwahwah… pasangan baru. Manis banget, ampe pelukan begitu. Makannya udah nih? Gak mau tambah?” goda bulek.
“Ah, bulek. Daripada bulek, kerjaannya ngintipin orang aja. Ntar matanya juling lo”
“hehehee, ketahuan ya?” jadi malu”
“Jadi berapa semuanya bulek?”
“30 ribu aja geng”
“Nah ini bulek, uangnya.” Sambil menyodorkan uang selembar lima puluh ribuan yang kuambil dari dompetku di atas meja.
“Oh, iya bulek. Bulek kan kerja sendiri nih, boleh gak kalau Sinta kerja disini?”
“Boleh aja, kebetulan bulek juga lagi butuh pegawai nih. Sering kualahan kalau pas rame.”
“Beneran bulek? Wah, seneng banget.” Jawab Sinta seketika.
“Iya, kamu bisa bekerja mulai besok. Tapi sekarang bulek bisa minta tolong beliin belanjaan di pasar ya? Gak papa kan?”
“Gak papa kok bulek” jawab sinta semangat. Senyumnya mengembang lebar.
“Oh iya, kebeneran aku juga belum sempat belanja keinginan nenek” jawabku baru ingat.
“Ya udah, kalian belanja berdua sana. Kan lebih enak kalau belanjanya berduaan” goda bulek untuk yang kesekian kalinya.
“Oh, hampir lupa. Bulek kembaliannya tadi tolong dibungkusin makanan ya. Biar nanti dibawa pulang Sinta.
“Siap komandan!”
“Terima kasih ya geng. Kamu emang baik” kata Sinta tanpa melepaskan pelukannya.
“Aduuuhhh… Yang pelukannya gak mau lepas. Jadi iri..” ceplos bulek melihat kedekatan kami berdua.
“Aaaahhh… bulek, aku kan jadi malu” jawab Sinta sambil melepaskan pelukannya.
“Ya udah berangkat sana, keburu sore. Sin, uang dan daftarnya ada di dalam keranjang” lanjut bulek.
“Kita berangkat dulu ya bulek, Assalamualaikum.” Kataku seraya pergi dengan menggandeng tangan Sinta.
“Waalaikum salam” jawab bulek.
Kami berdua segera berbelanja di pasar, hingga akhirnya aku dan Sinta
harus berpisah. Hari sudah mulai sore. Kami harus pulang ke rumah
masing-masing. Sesegera mungkin kukayuh sepeda kumbang yang penuh karat
ini. Perjalanan pulang yang naik dan berkelok-kelok pun semakin
menghambatku. Roda sepeda yang terus berputar berlomba dengan seiring
tenggelamnya matahari ke dalam bumi pertiwi. Dengan kaki yang tak
henti-henti mengayuh, serta keringat yang mengucur deras. Dan nafas
berat akhirnya aku sampai di tempat kelahiranku. Di teras rumah, nenekku
sudah terduduk dengan rapi menghisap sebatang rokok.
“Kemana saja kamu?” tanya Nenekku tegas.
Aku tertunduk, takut jika dimarahi oleh nenekku.
“Aku dengar kabar dari Bulek Susi, bahwa kamu seharian bermain-main di
pasar sama temanmu. Iya kan?” tanya nenek dengan sedikit menggertak.
“Iya Nek” jawabku sambil terus menunduk.
“Dan Nenek dengar kalau teman kamu cewek. Apa betul?”
“I… Iya nek” jawabku sambil gemetar dan tetap menunduk.
“Hey, mana sopan santunmu? Lihat wajah nenek!” gertakannya membuatku semakin takut.
Perlahan-lahan kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dan seketika.
“Dia cantik tidak? Kapan-kapan kenalkan ke nenek ya?” kata nenek sambil tersenyum lebar. Kupeluk tubuh nenek dengan erat.
“Cucu nenek sudah besar rupanya” lanjutnya.
“Iya nek, aku janji kapan-kapan bakal aku kenalin ke nenek.” Jawabku malu.
“Sudah cepat masuk sana, mandi. Badan udah bau kayak gitu. Ntar gak ada cewek yang mau sama kamu lo”
“Iya iya, aku mandi kok nek”
Tanpa komando lagi, aku segera masuk dan memarkir sepeda kayuh tadi
di tempat semula. Segera ku basuh dan kubersihkan tubuhku. Setelah aku
selesai mandi, aku terdiam merenung di jendela kamar. Aku bergumam
sendiri, betapa indahnya hari ini. Aku mendapat teman baru, dan
membantunya keluar dari permasalahannya dan mencarikan perkerjaan yang
halal. Secara tidak langsung, bulek juga merasa terbantu olehku karena
telah mencarikannya pegawai. Aku juga senang, nenek tidak marah padaku.
Namun yang terpenting, hari ini aku sudah merubah Sinta menjadi lebih
baik. Walaupun aku tidak bisa membantu banyak, tapi aku sudah senang.
Karena mungkin saja saat ini keluarga Sinta sedang makan dengan lahapnya
dari lauk yang kubelikan tadi siang.
Lalu, hari itu kujadikan hari bersejarah antara aku dan Sinta. Hari
yang mengikat kita berdua untuk tetap menjadi sahabat. Dan semenjak hari
itu, setiap diriku pergi ke pasar aku tidak lupa menyempatkan diri
untuk mampir di warteg milik Bulek Susi. Baik untuk membeli makanan atau
Cuma sekedar membantu bulek bekerja dan menemani Sinta. Aku sadar,
bahwa semuanya akan baik jika kita menyikapinya dengan baik pula.
“Terima kasih Tuhan atas semua yang telah kau limpahkan.”
– END –
Cerpen Karangan: Sugeng Dwi